Sudahkah Orang Tuli Dimanusiawikan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Disusun oleh: Siti Imroatul Muchsina, S.H.

 

Sudahkan dari pembaca disini mengetahui apa itu penyandang disabilitas?. Mari kita berkenalan lebih dekat dengan penyandang disabilitas terlebih dahulu. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara berdasarkan kesamaan hak[1].

Penyandang disabilitas pun memiliki ragamnya yakni, penyandang disabilitas dari sisi fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik[2]. Berikut kami jelaskan beberapa ragamnya, antara lain:

1.    Disabilitas dari segi fisik, adalah terganggunya fungsi gerak antara lain lumpuh layu atau kaku, paraplegia, cerebral palsy (CP), akibat amputasi, stroke, kusta, dan lain-lain/ kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakanan , atau dapat disebabkan oleh kelainan bawaan. Pada penyandang disabilitas fisik terdapat kelainan bentuk tubuh, anggota gerak atau otot, berkurangnya fungsi tulang, otot, sendi, maupun syaraf-syarafnya;

2.    Disabilitas intelektual, adalah penyandang gangguan perkembangan mental secara prinsip ditandai oleh deteriorasi (kemunduran) fungsi konkrit di setiap perkembangan dan kontribusi pada seluruh tingkat intelegensi (kecerdasan). Penyandang disabilitas ini mempunyai keterbatasan dalam hal kemapuan komunikasi, rawat diri, kehidupan dirumah, keterampilan sosial, keterlibatan dalam komunitas, kesehatan dan keamanan, akademik dan kemampuan bekerja;

3.    Disabilitas mental, adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku antara lain:

Psikososial, misalnya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, gangguan kepribadian. Disabilitas ini perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, misalnya autis dan hiperaktif;

4.    Disabilitas sensorik, adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indra antara lain disabilitas netra, rungu dan atau wicara.

-          Disabilitas netra adalah orang yang memiliki akurasi penglihatan kurang dari 6 per 60 setelah dikoreksi atau sama sekali tidak memiliki daya penglihatan.

-          Disabilitas rungu wicara adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran dan atau fungsi bicara baik disebabkan oleh kelahiran, kecelakaan, maupun penyakit.;

5.    Disabilitas ganda. Ragam disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama (paling singkat enam bulan dan/atau bersifat permanen) dan ditetapkan oleh tenaga kesehatan. Penyandang disabilitas ganda atau multi adalah penyadang yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas antara lain disabilitas runggu-wicara dan disabilitas netra-tuli[3].

Fokus pada tulisan ini akan membahas mengenai kelima ragam disabilitas di atas. Kami akan membahas perihal orang tuna rungu atau orang tuli.  Bedakah antara orang tuna rungu dengan orang tuli?. Singkat penjelasan, istilah tuna rungu diberikan oleh para tenaga medis atas diagnosa dokter kepada mereka yang tidak dapat mendengar dengan baik, sedangkan orang tuli adalah penyebutan atau istilah yang telah digunakan sebagai salah satu ciri khas panggilan diantara mereka yang menderita tuli atau tidak bisa mendengar. Sekilas pemanggilan “orang Tuli”  terdengar kasar oleh kita yang awam atau yang normal. Namun, kata “Tuli” bukan sebuah panggilan yang kasar bagi mereka (orang Tuli), bahkan kata Tuli adalah hal biasa, itu merupakan sebuah identitas diri, dan mereka lebih nyaman dengan sebutan Tuli. Penyebutan untuk orang Tuli disebut dengan “Teman Tuli” dan penyebutan untuk orang yang dapat mendengar adalah “Teman Dengar”. Baik sekilas telah kami jelaskan dasar mengenai orang Tuna Rungu dengan Orang Tuli.

Selanjutnya mari kita lihat berita yang beberapa waktu lalu menjadi topik hangat terkait dengan Ibu Tri Rismaharini (Menteri Sosial) yang dikritik oleh seorang penyandang tuna rungu karena memaksa anak tuli untuk bebicara di depan banyak orang saat peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021.

Kronologisnya, dalam acara tersebut, Risma meminta penyandang disabilitas rungu untuk berani berbicara di depan orang banyak. Tindakan Risma itu mendapat kritik dari Perwakilan Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Stefanus. “Saya mau bicara dengan ibu sebelumnya, bahwasannya anak tuli itu memang harus menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk dipaksa berbicara,“ kata Stefanus melalui juru bahasa isyarat di Kemensos, Jakarta Pusat, Rabu (1/12). Stefanus kaget melihat Risma memaksa penyandang disabilitas rungu berbicara menggunakan pengeras suara. Menurutnya, penyandang disabilitas rungu bisa menggunakan bahasa isyarat yang lebih mudah dipahami dan bisa diterjemahkan oleh juru bahasa isyarat. “Karakter anak tuli itu bermacam-macam. Jadi ada yang bicaranya tidak jelas, ada yang memang dia tuli sejak kecil dan kemampuan bahasa isyaratnya pun beragam. Jadi itu harus dihargai,” ujarnya.

Mendengar kritik tersebut, Risma langsung menghampiri Stefan di lokasi. Risma mengatakan tindakanya meminta para penyandang disabilitas untuk berbicara di depan umum sebagai salah satu upaya untuk melatih kemampuan bicara. “Kenapa ibu paksa kalian untuk bicara?. Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mata, telinga. Tapi saya berharap kita semua mencoba,” ujarnya[4].

Dalam suatu acara di salah satu channel Youtube, seorang aktivis tuli Surya Sahetapy (anak dari pasangan Artis Dewi Yul dan Ray Sahetapy) berkomentar terkait berita ini.

“itu sih sebenarnya tidak boleh dipaksa, kalau misalnya orang yang kayak gitu mungkin kayak trauma. Ini kayak kurang manusiawi sebetulnya ke orang-orang tuli karena maksa untuk bicara verbal. Kita bandingin sama negara lain ya, yang betul-betul manusiawi, beda banget. Mungkin karena kesetaraannya berbeda. Mungkin ada beberapa orang yang mau bicara tapi gak mau, tergantung orangnya, apalagi kondisi pita suara orang berbeda-beda, kemampuan dengarnya juga beda-beda, dukungan tempat tinggalnya juga beda-beda, dukungan dari ahlinya juga beda-beda, dan orang tua investasi waktu untuk anaknya juga beda-beda, jadi kita tidak bisa menyamaratakan”.

“kemarin itu tidak hanya orang tuli saja yang tersinggung, ada orang tua nya juga tersinggung. Masa iya dikasih alat bantu dengar langsung bisa ngomong?, kan gak mungkin. Karena alat bantu dengar ini ketika dikasih butuh terapi, terapi bicara, terapi dengar. Ada yang butuh penyesuaian 2-7 tahun, jadi tergantung dengan kondisi orang itu”[5].

Dalam suatu artikel lain, Risma mengaku bahwa belajar tentang hal itu dari Angkie Yudistia, yang merupakan penyandang disabilitas tunarungu dan saat ini menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), Risma menyebut Angkie berlatih berbicara sehingga bisa jelas sekarang. “Saya belajar ini dari Mbak Angkie dulu pada waktu beberapa tahun lalu waktu ibu jadi wali kota ketemu dengan Mbak Angkie. Saat itu Mbak Angkie bicaranya tidak jelas seperti sekarang, tapi sekarang karena dilatih terus oleh Mbak Angkie, sekarang bicaranya sangat jelas. Mengerti ya, Setfan?” Kata Risma [6].

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas  telah dijelaskan pada bagian ketiga, Hak Bebas dari Stigma, Pasal 7 yang berbunyi, “ Hak bebas dari stigma untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya”[7].  Dalam hal ini sebagai sesama manusia diharap untuk dapat saling menghargai satu sama lain. Perbedaan yang Tuhan telah beri adalah menjadi kehendak Tuhan seorang. Namun, dari perbedaan itu janganlah menjadi pembeda diantara kita sebagai sesama makhluk Tuhan.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, kita sebagai orang dengar memberikan kemudahan dan membantu saudara-saudara kita yang Tuli dengan tidak memandang mereka berbeda. Mereka hanya ingin diperlakukan setara dan sama terkait hak-haknya yang ingin dipenuhi. Bantu mereka dengan tidak melabeli mereka dengan kekhususan yang terlihat secara fisik, mental, sensorik, intelektual. Bantu angkat derajatnya dan rangkul mereka dalam setiap hal kegiatan kita, mereka ingin terlihat sama dengan kita yang normal lainnya. Diantara mereka semua juga memiliki semangat yang sama dengan kami yang normal.

 



[1] https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/37251/uu-no-8-tahun-2016. Pasal 1 ayat 1. Diakses Tgl 08 Februari 2022.

[2] Ibid. Pasal 4 ayat 1.

[3] https://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/disabilitas-ragam-jenis-yuk-mengenal-penyandang-disabilitas-lebih-dekat-bagian-1 . Sumber: Buku Pedoman Pelaksanaan Yankespro bagi penyandang Disabilitas Usia Dewasa, Kemenkes RI, 2017. Diakses Tgl 08 Februari 2022.

[5] https://www.youtube.com/watch?v=Ac-5czDUiFQ. Di menit ke 18.29 – 20.00.

[6] https://news.detik.com/berita/d-5837430/komunitas-tunarungu-tersinggung-risma-paksa-anak-disabilitas-tuli-bicara/2 . Ditulis oleh Rakhmad Hidayatulloh Permana – DetikNews, pada Kamis 02 Des 2021. Diakses pada tgl 10 Feb 2022.

Posting Komentar

0 Komentar