Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena Pelanggaran Bersifat
Mendesak
Disusun oleh: M. Lutfi
Rizal Farid, S.H.
“Pelanggaran bersifat
mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan
Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal:
a. Melakukan penipuan,
pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;
b. Memberikan keterangan
palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;
c. Mabuk, meminum minuman
keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. Melakukan perbuatan
asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang, menganiaya,
mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan
kerja;
f.
Membujuk
teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. Dengan ceroboh atau
sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan
yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau
sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat
kerja;
i.
Melakukan
perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.
Penyebutan pelanggaran bersifat mendesak maupun kesalahan berat, pada intinya sama-sama menjelaskan mengenai perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja. Namun, proses penjatuhan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, berbeda dengan pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pertimbangan hukum tentang Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi;
“Menimbang bahwa Mahkamah
dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945
khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, karena Pasal 158 memberi kewenangan
pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan
kesalahan berat tanpa due process of law melalui
putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan
keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji
keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak, pasal 160
menentukan secara berbeda bahwa seluruh buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak
yang bewajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan
pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang sampai
bulan keenam masig memperoleh sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan
apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan tidak bersalah,
pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut. Hal tersebut
dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda didalam hukum yang
bertentangan dengan UUD 1945, dan ketentuan pasal 1 ayat (3) yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pengusaha yang melakukan PHK dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat atau perbuatan yang terdapat unsur tindak pidana tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsal, melainkan hanya dengan cukup bukti dan keputusan pengusaha, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat dua lembaga negara yang mengeluarkan peraturan mengenai PHK karena kesalahan berat.
Pada tahun 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang saat ini berganti nama Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam salah satu butir pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut berbunyi:
3. Sehubungan dengan hal
tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan
kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Pengusaha yang akan
melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal
158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
b. Apabila pekerja ditahan
oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan
sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003.
Lembaga
negara yang selanjutnya mengeluarkan peraturan mengenai PHK karena kesalahan
berat adalah Mahkamah Agung. Pada tahun 2015, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 03 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut terbagi menjadi beberapa Rumusan Hukum
Kamar, yang membahas mengenai PHK karena kesalahan berat terdapat pada Rumusan
Hukum Kamar Perdata Khusus huruf e, yang berbunyi:
e. Dalam hal terjadi PHK
terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK Nomor
012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus
menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT)).
Peraturan mengenai kesalahan berat atau
pelanggaran bersifat mendesak, baik pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
Atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Surat Edaran
Nomor 03 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan,
dan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat,
dan Pemutusan Hubungan Kerja, terdapat perbedaan-perbedaan dalam proses untuk
melakukan PHK karena kesalahan berat. Lebih lanjut Pasal 52 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang
berbunyi:
(3) Pengusaha dapat melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2).
Pada
Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja, yang berbunyi;
(2) Dalam hal Pemutusan
Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan
Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh yang
bersangkuan merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Perbedaan penafsiran terhadap proses PHK karena
kesalahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak atas Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 yang kemudian dilakukan pembaharuan pada
Undang-Undang Cipta Kerja dan melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja, masih menjadikan sebuah problematika hukum dalam penerapan PHK karena
kesalahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak. Di sisi pekerja, mereka
berupaya untuk membuktikan atas dugaan tindak pidana yang ditujukan kepadanya
melalui pengadilan yang berwenang, sehingga pengusaha tidak sewenang-wenang
untuk melakukan PHK dengan dugaan pekerja melakukan keselahan berat atau
pelanggaran bersifat mendesak.
Menurut Lalu Husni, jika hubungan antara buruh
dengan majikan ini tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (buruh dan
majikan), maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial di
bidang perburuhan akan sulit tercapat, karena pihak yang kuat akan selalui
ingin menguasai pihak yang lemah (homo
homoni lopus).[3]
Oleh karena itu, perlunya campur tangan pemerintah sebagai pihak yang membuat
kebijakan sebagai bentuk proses pengawasan terhadap ketidak adilan dalam proses
PHK karena kesalahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak. Perbuatan
pekerja yang diduga sebagai tindak pidana, dikatakan bersalah maupun tidak
bersalah merupakan kewenangan hakim pidana setelah mengeluarkan putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap.
[1] Sigar Aji Poerana. 2020. “Berbagai
Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan”. Diakses pada 11 Januari 2022 di https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5078c83ecf921/berbagai-putusan-mk-yang-mengubah-uu-ketenagakerjaan.
[2] Agus Suprayogi. 2016. “Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
012/PUU-I/2004”. Lex Jurnalica 13
(2): 114.
[3] Lalu Husni, 2016. “Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan”. Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada. Hlm. 23.
0 Komentar