Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena Pelanggaran Bersifat Mendesak

Disusun oleh: M. Lutfi Rizal Farid, S.H.


        Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan) telah dilakukan 11 (sebelas) kali[1] pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang salah satu amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan Pasal yang membahas mengenai klasifikasi dan proses terhadap pekerja yang dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (Selanjutnya disebut PHK) karena kesalahan berat. Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Selanjutnya disebut Undang-Undang Cipta Kerja) sebagai wadah pembaharuan dan penyederhaan Undang-Undang di Indonesia yang salah satunya, mengubah Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan PHK, khusunya PHK karena kesalahan berat.

        PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja atau hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha yang disebabkan oleh hal tertentu. Pelanggaran bersifat mendesak atau kesalahan berat yang berarti “tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pekerja yang bertentangan atau melawan hukum”[2], sedangkan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak yang dijelaskan pada Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang berbunyi;

“Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal:

a.       Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;

b.      Memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;

c.       Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d.      Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e.       Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja;

f.        Membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g.       Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;

h.      Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i.        Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Penyebutan pelanggaran bersifat mendesak maupun kesalahan berat, pada intinya sama-sama menjelaskan mengenai perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja. Namun, proses penjatuhan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, berbeda dengan pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

        Pertimbangan hukum tentang Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi;

“Menimbang bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak, pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa seluruh buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang bewajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang sampai bulan keenam masig memperoleh sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda didalam hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, dan ketentuan pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pengusaha yang melakukan PHK dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat atau perbuatan yang terdapat unsur tindak pidana tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsal, melainkan hanya dengan cukup bukti dan keputusan pengusaha, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terdapat dua lembaga negara yang mengeluarkan peraturan mengenai PHK karena kesalahan berat.

        Pada tahun 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang saat ini berganti nama Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam salah satu butir pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut berbunyi:

3.      Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.       Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b.      Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Lembaga negara yang selanjutnya mengeluarkan peraturan mengenai PHK karena kesalahan berat adalah Mahkamah Agung. Pada tahun 2015, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut terbagi menjadi beberapa Rumusan Hukum Kamar, yang membahas mengenai PHK karena kesalahan berat terdapat pada Rumusan Hukum Kamar Perdata Khusus huruf e, yang berbunyi:

e.       Dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT)).

Peraturan mengenai kesalahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak, baik pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, terdapat perbedaan-perbedaan dalam proses untuk melakukan PHK karena kesalahan berat. Lebih lanjut Pasal 52 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang berbunyi:

(3)  Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2).

Pada Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang berbunyi;

(2)     Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh yang bersangkuan merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Perbedaan penafsiran terhadap proses PHK karena kesalahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 yang kemudian dilakukan pembaharuan pada Undang-Undang Cipta Kerja dan melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, masih menjadikan sebuah problematika hukum dalam penerapan PHK karena kesalahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak. Di sisi pekerja, mereka berupaya untuk membuktikan atas dugaan tindak pidana yang ditujukan kepadanya melalui pengadilan yang berwenang, sehingga pengusaha tidak sewenang-wenang untuk melakukan PHK dengan dugaan pekerja melakukan keselahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak.

Menurut Lalu Husni, jika hubungan antara buruh dengan majikan ini tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (buruh dan majikan), maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial di bidang perburuhan akan sulit tercapat, karena pihak yang kuat akan selalui ingin menguasai pihak yang lemah (homo homoni lopus).[3] Oleh karena itu, perlunya campur tangan pemerintah sebagai pihak yang membuat kebijakan sebagai bentuk proses pengawasan terhadap ketidak adilan dalam proses PHK karena kesalahan berat atau pelanggaran bersifat mendesak. Perbuatan pekerja yang diduga sebagai tindak pidana, dikatakan bersalah maupun tidak bersalah merupakan kewenangan hakim pidana setelah mengeluarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.




[1] Sigar Aji Poerana. 2020. “Berbagai Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan”. Diakses pada 11 Januari 2022 di https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5078c83ecf921/berbagai-putusan-mk-yang-mengubah-uu-ketenagakerjaan.

[2] Agus Suprayogi. 2016. “Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2004”. Lex Jurnalica 13 (2): 114.

[3] Lalu Husni, 2016. “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan”. Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada. Hlm. 23.

Posting Komentar

0 Komentar