RESTORATIVE JUSTICE: PENYELESAIAN PERKARA PIDANA SECARA HUMANIS

Disusun oleh: M. Lutfi Rizal Farid, S.H.

Berita CNN Indonesia pada hari Selasa, 08 Februari 2022 dengan judul, “Curi 100 Kg Sawit Buat Beli Susu, 2 Ibu Rumah Tangga di Sumut Bebas”. Pada berita tersebut dijelaskan, bahwa terdapat 2 (dua) tersangka yang merupakan Ibu rumah tangga melakukan pencurian 2 (dua) goni sawit dengan berat 100 Kg dengan mencapai nilai kerugian sebesar Rp 300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah). Akibat dari perbuatan yang dilakukan kedua Ibu rumah tangga tersebut, diancam Pasal 111 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan jo.  Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP). Namun, Kejaksaan Negeri Simalungun menghentikan kasus tersebut dengan dasar Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.[1]

Lantas, apakah yang dimaksud dengan keadilan restoratif?. Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang berbunyi;

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.

Pada prinsipnya, penyelesaian perkara pidana dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif yaitu dengan dilakukan di luar pengadilan yang melibatkan para pihak, antara lain; pelaku, korban, keluarga pelaku/korban serta pihak lain untuk mencari penyelesaian yang adil dan agar tidak dilakukannya pembalasan.

Syarat diterapkannya keadilan restoratif pada perkara tindak pidana, tercantum pada Pasal 5 ayat (1) dan ayat (6) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang berbunyi;

(1)  Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penutupannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

a.       Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;

b.      Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan

c.       Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Sedangkan pada Pasal 5 ayat (6) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang berbunyi;

(6)  Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:

a.       Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang telah dilakukan oleh Tersangka dengan cara:

1.      Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2.      Mengganti kerugian Korban;

3.      Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau

4.      Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b.      Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan

c.       Masyarakat merespon positif.

Pasal 5 ayat (1) dan ayat (6) merupakan syarat-syarat untuk dapat dilakukannya keadilan restoratif. Namun, juga terdapat beberapa perkara yang dikecualikan untuk dilakukannya penghentian penuntutan perkara dengan menerapkan Keadilan Retoratif. Pengeculian penghentian penuntutan perkara tersebut di atas tercantum pada Pasal 5 ayat (8) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang berbunyi;

(8)  Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:

a.       Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;

b.      Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;

c.       Tindak pidana narkotika;

d.      Tindak pidana lingkungan hidup; dan

e.       Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Pengaturan mengenai Keadilan Restoratif, tidak hanya pada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Namun, juga terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Surat Edaran Nomor: 8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dikutip dari Majalah Tempo, “Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut soal keadilan restorative atau restorative justice dalam penyelesaian pidana kepada kepolisian. Polri menyebut, lebih dari 1.000 perkara telah diselesaikan melalui metode ini. Pada pelaksanaanya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi”.[2]

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, terdapat syarat-syarat pada proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif. Lebih lanjut, dijelaskan pada Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang berbunyi;

“Dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restorative, apabila terpenuhi syarat:

a.       Materiel, meliputi:

1.      Tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;

2.      Tidak berdampak konflik sosial;

3.      Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;

4.      Prinsip pembatas;

a)     Pada pelaku:

1)     Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan

2)     Pelaku bukan residivis;

b)     Pada tindak pidana dalam proses:

1)     Penyelidikan; dan

2)     Penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;

b.      Formil, meliputi:

1.      Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

2.      Surat penyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;

3.      Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;

4.      Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restorative; dan

5.      Pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi”.

Penerapan Keadilan Restoratif pada perkara-perkara pidana dengan syarat-syarat tertentu agar untuk mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kapastian, dan kemanfaatan pada penegakan hukum. Perdamaian yang dilakukan antara pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat, dilakukan dengan cara humanis atau cara penyelesaian yang bertujuan untuk menghidupkan rasa kemanusiaan dalam bermasyarakat. Sehingga, perdamaian yang mempertemukan para pihak agar tidak dilakukannya pembalasan.

 

 
 #restorativejustice 
#keadalianrestoratif 
#pidana 
#hukumpidana
#tindakpidana

 

 

 

 

 

 



[1] CNN Indonesia, 2022. “Curi 100 Kg Sawit Buat Beli Susu, 2 Ibu Rumah Tangga di Sumut Bebas”. Diakses pada 10 Februari 2022 di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220208190237-12-756667/curi-100-kg-sawit-buat-beli-susu-2-ibu-rumah-tangga-di-sumut-bebas

[2] S. Dian Andryanto, 2022. “Kapolri Sering Sebut Restorative Justice, Syarat RJ Selesaikan Perkara Pidana. Di akses pada 11 Februari 2020 di https://nasional.tempo.co/read/1557863/kapolri-sering-sebut-restorative-justice-syarat-rj-selesaikan-perkara-pidana.

Posting Komentar

0 Komentar