IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PEMBERIAN SURAT
PENGUNDURAN DIRI OLEH PENGUSAHA
Disusun oleh: M. Lutfi Rizal Farid, S.H.
Beredar
kabar di media sosial, sebuah perusahaan ekspedisi yang diduga melakukan
pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK) massal kepada karyawan. Dikutip
dari TEMPO.CO yang dimuat pada hari Minggu, 13 Maret 2022, dengan headline “Ramai Soal PHK Massal Kurir
oleh SiCepat, Begini Tanggapan Manajamen”. Pada berita tersebut memberitakan
isu PHK massal yang diduga dilakukan oleh perusahaan ekspedisi PT. SiCepat
Ekspres Indonesia atau SiCepat Ekspres. Melalui media sosial Twitter pada hari
Sabtu, 12 Maret 2022, akun @arifnovianto_id membagikan sebuah tulisan,
“Gelombang massal tengah dilakukan SiCepat. Di Jabodetabek ada sekitar 365
kurir yang dipecat, tapi mereka disodori surat pengunduran diri”. “Tujuannya, supaya
perusahaan tidak membayar pesangon dan hak-hak lainnya bagi kurir. Beberapa
kurir yg di PHK dipilih yang berstatus pekerja tetap”, imbuhnya pada cuitan
media sosial Twitter. Pada berita tersebut, pihak SiCepat Ekspres belum
memberikan klarifikasi mengenai isu adanya PHK massal bagi karyawan yang viral
dimedia sosial.[1]
Lalu,
bagaimana jika isu tersebut ditinjau dari peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan Indonesia mengenai pemberian surat pengunduran diri oleh
pengusaha?. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja, yang berbunyi: “Pemutusan hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Hal tertentu
sebagaimana dimaksud tersebut, antara lain: PHK oleh pengusaha, PHK oleh
pekerja, hubungan kerja putus demi hukum, dan PHK oleh pengadilan. PHK oleh
pekerja pada prinsipnya adalah pekerja tidak boleh dipaksakan untuk terus
menerus bekerja bilamana pekerja sendiri yang menghendakinya.
Pekerja
yang mengajukan pengunduran diri dapat disebabkan oleh beberapa alasan.
Dijelaskan pada Pasal 36 huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021
Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang berbunyi:
g. Adanya permohonan
Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan
Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina
secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh
Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
3. tidak membayar Upah tepat
pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau
lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban
yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh;
5. memerintahkan
Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja.
Pekerja
yang akan melakukan PHK pengunduran diri atau PHK oleh pekerja dapat membuat
pernyataan pada surat pengunduran diri. Surat pengunduran diri merupakan surat
pengakhiran hubungan kerja yang dikehendaki dan dibuat atas kemauan sendiri
pekerja untuk diberikan kepada pengusaha. Pasal 36 huruf i Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu
Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang berbunyi:
i.
Pekerja/Buruh
mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. Mengajukan permohonan
pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. Tidak terikat dalam ikatan
dinas; dan
3. Tetap melaksanakan
kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
Selanjutnya,
Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja, yang berbunyi:
Pekerja/Buruh
yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf i, berhak atas:
a. Uang pengganti hak sesuai
ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan
b. Uang pisah yang besarannya
diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja
Bersama.
Pekerja
yang memutus hubungan kerja dengan pengusaha merupakan kemauan atau inisiatif
pekerja sendiri, dan surat pengunduran diri juga merupakan hak yang dibuat oleh
pekerja tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Sehingga, pengusaha tidak
mempunyai wewenang untuk memberikan surat pengunduran diri. Jika pengusaha yang
memberikan surat pengunduran diri kepada pekerja, maka hal tersebut dianggap
sebagai pelanggaran terhadap hak pekerja. Tentunya pengusaha mempunyai hak
untuk dapat melakukan PHK terhadap pekerja, namun bukan memberikan surat
pengunduran diri, tetapi memberikan surat pemberitahuan PHK.
Kedua
surat tersebut mempunyai fungsi berbeda, tetapi terdapat tujuan yang sama yaitu
pengakhiran hubungan kerja. Begitu pula kewajiban pengusaha untuk memberikan
hak normatif pekerja ketika setelah dilakukannya PHK. Pada PHK karena
pengunduran diri, pengusaha hanya berkewajiban untuk memberikan uang pisah yang
besaran ketentuannya diatur pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan
perjanjian kerja bersama. Namun, apabila pengusaha yang melakukan PHK seperti
contoh PHK karena efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugiaan, maka pengusaha
berkewajiban untuk memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang pengganti hak. Oleh karena itu, terkadang terdapat pengusaha “nakal” yang
masih memberikan surat pengunduran diri pekerja yang bukan merupakan kewenangan
pengusaha dan pekerja berhak untuk menolak apabila diberikan surat pengunduran
diri.
[1]Rr.
Ariyani Yakti Widyastuti, https://bisnis.tempo.co/read/1570327/ramai-soal-phk-massal-kurir-oleh-sicepat-begini-tanggapan-manajemen
0 Komentar